Langsung ke konten utama

Day 05 : ORIENTALISME by M. Quraish Shihab

Orientalisme terambil dari kata orient yang berarti Timur. Ia adalah ilmu yang membahas tentang bahasa, budaya termasuk agama dan kesusastraan masyarakat Timur.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan Orientalis sebagai ahli bahasa, kesusastraan dan kebudayaan bangsabangsa Timur. Makna serupa dikemukakan oleh Kamus Bahasa Arab Modern “al-Munjid”. Sementara kamus Bahasa Inggris mengartikannya sebagai “one who studies the languages, art, civilization, etc of the east”.
Penulis menilai bahwa pengertian yang dikemukakan oleh kamus bahasa Inggris itu lebih tepat dan sesuai dengan kenyataan. Keahlian dalam bidang yang disebut di atas tidaklah selalu menyertai siapa yang dinamai orientalis, karena terbukti tidak sedikit dari mereka yang dinamai orientalis. Tidak juga mutlak seorang orientalis harus merupakan “orang Barat”, dalam pengertian umum dewasa ini, karena terbukti ada sekian banyak orang yang berasal dari wilayah “Timur” yang melakukan studi menyangkut objek di atas, baik karena dia tinggal di Timur maupun asal usulnya dari Timur. Sekedar sebagai contoh adalah Isa Boullata seorang penganut Kristen asal Palestina dan kini adalah warga negara Kanada yang pernah mengajar di IAIN Jakarta. Bahkan cukup mengherankan dari Najîb al-’Aqiqy yang mencantumkan nama Fazlur Rahman, cendekiawan Muslim Pakistan, sebagai salah seorang orientalis
“Masyarakat dan bangsa-bangsa Timur” dalam pengertian di atas pada mulanya lebih banyak tertuju kepada Asia Tenggara—Cina dan India—tetapi ini berkembang sehingga kini telah mencakup bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan pribumi Amerika Serikat dan Australia.
Cukup populer ungkapan yang menyatakan bahwa “Timur adalah Timur dan Barat adalah Barat”. Ungkapan ini dapat didiskusikan kebenarannya, namun yang jelas hingga kini, kita masih sering mendengar penilaian negatif Barat terhadap kebijakan atau sikap negara dan masyarakat yang berada di belahan Timur mereka dari planet bumi ini. Perbedaan penilaian ini tentunya disebabkan oleh banyak faktor antara lain karena kacamata yang digunakan Barat tidak sepenuhnya sama—kalau enggan berkata berbeda—dengan kacamata yang digunakan Timur. Dahulu dan boleh jadi hingga kini—Timur apalagi Timur Jauh—seperti India dan Cina, sangat mengandalkan intuisi dan penyucian jiwa guna mencapai kebenaran. Mereka hampir-hampir saja mengabaikan penalaran dan analisis, sehingga mereka memandang segala sesuatu dengan jiwa, bukan dengan akal. Mereka bagaikan membiarkan rincian segala sesuatu berserakan dan mengamati bahkan menikmati rincian itu seperti seorang yang menikmati keindahaan bunga tanpa melihat duri yang mengelilinginya.
Barat—lain pula halnya—mereka sangat mengandalkan akal- penalaran dan analisis untuk membaca fenomena alam dan sosial. Hal ini menjadikan mereka seringkali melupakan bukan saja nilai-nilai spiritual tetapi juga peranan jiwa bahkan mereka hampir-hampir menganggap atau menilainya sesuatu yang tidak perlu dipertimbangkan.
Boleh jadi cara pandang Timur dan Barat, seperti yang dilukiskan di atas, tidak lagi sepenuhnya demikian, karena semakin menyempitnya dunia. Pertemuan keduanya dapat diwujudkan selama masing-masing memandang terlepas dari subjektivitas dan kepentingan kelompok. Tetapi kalau tidak demikian, maka haruslah disadari bahwa nalar sangat pandai mengemas tujuan-tujuan subjektif dalam kemasan ilmiah sehingga memperdaya mereka yang tidak mengenal kehebatan dan kelihaian nalar. Agama Islam pada hakikatnya adalah agama yang diturunkan untuk umat manusia di seluruh penjuru dunia. Karena itu agama ini memadukan nalar dan intuisi dalam pandangan dan anjurannya untuk memandang, dan karena itu pula mengabaikan nalar dikecamnya sebagaimana mengecam mereka yang hanya larut dalam spiritualitas. Islam menuntut bukan saja penyandingan keduanya tetapi penyatuannya secara harmonis, tidak yang ini dimenangkan dan tidak pula yang itu dikalahkan.
Subjektivitas sementara orientalis sangat besar, dan penilaian mereka terhadap dunia Timur sejak semula telah sangat keliru. Sementara mereka menilai bahwa bangsabangsa Timur primitif, tidak rasional, tidak beradab dan sebagainya. Agama Islam mereka nilai sebagai agama jiplakan, atau pencampuradukan agama-agama Yahudi, Kristen dan lainlain sebagainya. Pandangan ini tidaklah mereka jadikan hipotesa yang harus dibuktikan kebenarannya secara ilmiah dan objektif, tetapi mereka jadikan dasar titik tolak yang pasti,sehingga dari segi metodologi dapat juga dipastikan bahwa penemuan mereka yang berdasar pandangan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmiah.
Al-Tibawy menulis dalam majalah The Muslim World edisi bulan Juli 1963 suatu artikel yang diterjemahkan oleh Fathi Usman dengan judul al-Mustasyriqûn al-Nâthiqûn bi alInggelîzîah wa Madâ Iqtirâbihim min Haqiqat al-Islam wa alQaumiyah al-’Arabiyah2 menulis bahwa tidak ada satu upaya akademik di dalam bidang studi humaniora yang hampir mendekati keburukan nasib studi keislaman dan kearaban yang dilakukan Barat. Sejak dini terlihat akar-akar permusuhan dari Yudaisme dan Kristen terhadap Islam melalui sikap mereka yang demikian cepat menolak ayat-ayat al-Qur’ân dan menentang Nabi Muhammad saw. Dari masa itulah bermula aneka diskusi dan perdebatan yang berlangsung hingga kini, walaupun bendera yang dikibarkan dalam perdebatan itu beraneka ragam. Permusuhan tersebut berlanjut dan meluas sedemikian rupa akibat berbagai kegiatan politik dan militer. Penyebaran informasi yang buruk atau palsu terjadi sehingga Islam bagi mereka adalah produk setan, al-Qur’ân adalah himpunan dari kepicikan dan kebodohan, Muhammad adalah pembohong, penipu dan musuh al-Masih, sedang kaum muslimin tidak lain kecuali sekelompok orang-orang biadab yang hampir-hampir tidak memiliki ciri kemanusiaan.3 Pandangan semacam ini masih berbekas di benak sebagian masyarakat Barat dan kini diperparah oleh pers Barat yang menuduh teror yang terjadi di sekian belahan dunia adalah ulah kaum muslimin.
Tentu saja tidak semua orientalis demikian. Sekedar untuk menyebut satu dua nama, dari sekian banyak yang disebut adalah Thomas Carlyle (1795-1881) yang menulis buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ali Adham dengan judul al-Abthâl dimana orientalis asal Inggris itu menulissatu pasal tentang Nabi Muhammad saw. yang isinya cukup simpatik. Juga Hamilton Gibb (1895- 1971) orientalis Inggris yang lahir di Alexandria Mesir dan menjadi anggota Akademi Bahasa Arab di Cairo. Orientalis ini dinilai oleh banyak pakar Muslim sebagai seorang yang cukup objektif dalam tulisannya tentang Islam dan Nabi Muhammad saw. Pada masa kontemporer ini dapat diangkat sebagai contoh ilmuan Perancis Maurice Bucaille yang menulis tentang al-Qur’ân, Bibel dan Sains Modern, dan tentu saja masih banyak lainnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

君たちはどう生きるか  (How Do You Live?)

Sinopsis Pada tahun 1943 selama Perang Pasifik, ibu Mahito Maki yang berusia 12 tahun, Hisako, terbunuh dalam sebuah serangan udara di Tokyo. Ayah Mahito, yang memiliki pabrik amunisi udara, menikah lagi dengan adik perempuan mendiang istrinya, Natsuko, dan mereka mengungsi ke tanah miliknya di pedesaan di mana mereka tinggal bersama beberapa pembantu tua. Mahito berjuang di kota baru, karena dia tidak cocok di sekolah dan mengalami hubungan yang tegang dengan Natsuko, yang sekarang hamil. Mahito juga bertemu dengan bangau abu-abu misterius di perkebunan yang sering mengganggunya. Setelah pulang ke rumah pada suatu hari dari perkelahian dengan anak-anak sekolah lainnya, Mahito sengaja melukai dirinya sendiri dengan memukul kepalanya sendiri dengan batu untuk membuat dirinya tampak sebagai korban. Saat memulihkan diri dari lukanya di perkebunan, Mahito menemukan salinan novel How Do You Live? dengan tulisan tangan ibunya di dalamnya, yang dimaksudkan sebagai hadiah untuknya saat dia dew

3 2 1 Go!

Lyricist:Takeshi Hosomi Composer:Takeshi Hosomi You said I can see the lights beneath Like a town under the clouds Just a bit of fear is fine Today Waiting for the shooting stars Crane my neck to look up at them When you laugh I feel your pain When the night is getting dark I can't stop looking into When the sky is getting cold I can't stop falling into When the time is getting old today Let's just say yeah Let me see the morning light Ditch a fake TV smile And you said to no one there Like 3, 2, 1 Go When we see the rising sun Then I feel your body getting warm You said Thought the world was completely dark I can still see my own track It's the beauty of its heart Today Not so perfect weather wise Hope it shows before the dawn When you smile I see your pain When the night is getting dark I can't stop looking into When the sky is getting cold I can't stop falling into When the

Takeshi Hosomi (ELLEGARDEN) Interview in US (2006)

"Thank you so much guy, america has been so great, and we are having a fantastic time here, really, thank you so much!" Takeshi said, waving--and it wasn't the usual rehearsed, typical lead singer chater. It was honest, from the heart, and off the cuff. Takeshi comes off as the nicest guy in j-rock, onstage and off. The whole band came out afterward and spent the whole night chatting with fans, with a 6am flight to new york looming, Nice! Less than an hour after bringing the house down for the first time in north america at SXSW 2006, and with a new CD just out and a nine-city tour on the horizon, Ellegarden's Takeshi Hosomi found a not-too-noisy corner of Austin's Japanese-occupied Brush Square Park and talked about marriage, money, and why TV sucks with purple SKY's Go Wells: Go Wells: So this is your first gig in america; how are you enjoying it? Takeshi Hosomi: You know, we are now making kinda big sales back in japan, and we're well known. All